Perubahan lingkungan, sudah secara
nyata dan mudah dirasakan sekarang ini. Udara di sekitar dirasakan
lebih panas dari biasanya, udara dirasakan tidak segar lagi di pagi hari
tatkala mentari terbit di ufuk timur. Udara pun jarang memperlihatkan
wajah bersih dan cerah tatkala kita pandangi. Ini menandakan bahwa udara
di sekitar kita sudah tidak bersih lagi, telah mengalami pengotoran
atau pencemaran.
Peningkatan suhu bumi, bukan hanya
pembahasan dalam tulisan-tulisan ilmiah atau dalam international summit
saja, tetapi secara nyata dirasakan oleh masyarakat awam. Pada suatu
kesempatan penulis berbincang-bincang dengan penduduk di Kawasan Puncak,
Kabupaten Bogor. Mereka mengatakan bahwa sekarang di Kawasan Puncak
udaranya tidak dingin seperti dulu. Demikian halnya saat penulis
mendengarkan obrolan penduduk di Ciwidey, Kabupaten Bandung saat mudik
lebaran beberapa bulan yang lalu. Mereka merasakan hawa pegunungan
Ciwidey tak dingin lagi seperti dulu, mandi di waktu subuh tidak lagi
membuat badan ngahod-hod. Di saat pagi-pagi tak ada lagi pemandangan
masyarakat siduru atau dihaharudung ku sarung.
Banyak sebab udara tercemar yang
menyebabkan kualitas udara menjadi buruk. diantaranya akibat pembakaran
bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Pembakaran BBF
mengemisikan gas CO2 (karbondioksida) ke atmosfer dan terus-menerus
terakumulasi dan meningkatkan konsentrasi CO2 atmosfer / udara. Sebab
itu, Gas CO2 kini bukan lagi sebagai komponen alamiah atmosfer bumi,
tetapi berstatus sebagai zat pencemar. Selama 150 tahun terakhir,
konsentrasi CO2 telah meningkat dari 280 ppm menjadi hampir 380 ppm.
Gas CO2 yang pekat di atmosfer
menghalangi pantulan sinar mata hari dari bumi kembali keatas permukaan
bumi, dan ini menyebabkan meningkaatnya suhu udara. Fenomena ini dikenal
segai green house effect atau efek rumah kaca. Efek rumah kaca telah
betul-betul didukung oleh data meningkatkan suhu udara, bukan hanya pada
lingkup lokal tetapi sudah mencapai skala global sehingga dikenal
sebagai pemanasan bumi atau pemanasan global (global warming). Menurut U.S. National Research Council,
dalam seabad terakhir rata-rata kenaikan suhu di permukaan bumi
mencapai 0,3 oC -0,6 oC. Dalam akhir abad ke-21 rata-rata suhu bumi
meningkat 1,4 oC -5,8 oC dan dalam 400 tahun terahir menunjukkan kondisi
suhu paling panas
Peristiwa efek rumah kaca tidak hanya
berakhir di meningkatnya suhu bumi, melainkan berantai pada dampak yang
lain yakni meningkatnya permukaan air laut akibat mencairnya es di
kutub dan di gunung-gunung pencakar langit yang kemudian menyebabkan
naiknya permukaan air laut setinggi 0.09 – 0.88 meter. Efek rumah kaca
pun menyebabkan perubahan iklim (climate change). Peningkatan
permukaan air laut menjadi ancaman masalah banjir besar bagi negara
kita. Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, negara
kepulauan (memiliki lebih dari 17.000 pulau) yang memanjang sepanjang
5.000 km di ekuator. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya penduduk di
daerah pesisir menghadapi banjir permanent karena air laut naik ke
daratan pesisir. Perubahan iklim global juga akan berdampak buruk
terhadap hidupan liar (wild life) dan produksi pertanian.
Kepunahan jenis flora dan fauna menjadi ancaman yang sulit terelakkan
dan stabilitas keamanan penyediaan pangan dunia akan mengalami
guncangan dahsyat.
Perubahan iklim global akan berdampak
pada kepunahan jenis hidupan liar flora dan fauna, karena tidak mampu
beradaptasi terhadap suhu yang panas dan perubahan iklim. Sebagai negara
yang mendapat julukan the megabiodiversity country (Indonesia
memiliki luas 1,3% dari luas dunia, tetapi memiliki lebih dari 10%
tumbuhan berbunga, 12% mamalia dunia, 16% reptil dan amfibi, 17% jenis
burung, dan 35% jenis ikan di dunia) maka ancaman kepunahan jenis hayati
di Indonesia bukan hanya mencemaskan bangsa Indonesia saja, melainkan
bangsa-bangsa di dunia. Keanekaan jenis hayati Indonesia tak ubahnya
seperti bank-bank gen raksasa yang menjanjikan keuntungan sangat besar
di masa datang untuk diteliti, dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi
bahan pangan baru, sumber energi, bahan baku industri, dan bahan obat
baru., Adalah suatu kerugian yang sangat besar, yang sulit dihitung
nilai valuasinya, bila terjadi kepunahan jenis sementara IPTEK belum
dapat mengenali dan memanfaatkan jenis itu.
Memang, CO2 bukan satu-satunya gas
pencemar penyebab efek rumah kaca, tetapi gas ini menduduki peringkat
pertama penyumbang masalah meningkatnya suhu bumi. Lautan sebenarnya
diketahui punya peran dalam menyerap CO2. Namun nampaknya laut pun tak
kuasa lagi mengimbangi laju akumulasi CO2 pencemar di atmosfer yang
secepat kilat. Harapan kita sekarang bertumpu pada agent lain yang
sangat intensif menyerap CO2 yakni tumbuhan atau tanaman, baik yang
hidup di dalam kawasan hutan, di lahan pertanian maupun di
tempat-tempat pemukiman, di kota maupun di desa.
Tumbuhan / tanaman dalam kehidupannya sehari-hari melakukan apa yang
disebut fotosintesis. Dalam proses fotosintesius ini selain diperoduksi
zat organik juga dihasilkan gas oksigen. Banyak manfaat dari tanaman
ini, yakni :- Tanaman menghasilkan zat organic yang berfungsi segai bahan makanan (misalnya beraneka ragam buah-buahan).
- Tanaman menghasilkan kayu untuk bahan bangunan, industri mebel, kertas, kayu lapis, lantai, dan lain-lain.
- Tanaman berguna untuk peneduh dan penyegar lingkungan di jalan-jalan, perkantoran, pemukiman, di kota dan di desa.
- Tanaman memberikan kenyamanan dan keindahan lingkungan (lihat jenis-jenis pohon penghijaun di kota-kota dan tanaman hias).
- Tanaman memberikan keindahan alam sehingga menambah eksotisme suatu tempat tujuan wisata. Cita rasa keindahan alam dan kesejukkan kawasan wisata adalah karena kehadiran tumbuh-tumbuhan juga. Keindahan alam dan kesejukkan kawasan wisata Puncak di Jawa Barat misalnya, banyak ditimbulkan oleh tumbuhan/ tanaman. Tidak akan punya nilai wisata apa-apa Kawasan Puncak bila di sana tidak ada tumbuh-tumbuhan di hutan Telaga Warna atau perkebunan tanaman teh. Para pengunjung Kebun Raya Cibodas atau Kebun Raya Bogor tertarik datang nampaknya bukan karena alasan nilai ilmiah dari suatu kebun raya yang kaya akan koleksi jenis-jenis flora kawasan tropis, tetapi karena keindahannya yang dibangkitkan oleh tumbuhan-tumbuhan. Demikian pula para pengunjung Tahura Juanda di Bandung dapat menikmati keindahan alam dan kenyamanan lingkungan karena adanya pohon-pohon atau tetumbuhan.
Penyerapan CO2 oleh tumbuhan memberi andil dalam mengurangi pencemar CO2 di udara. Karbon dari CO2 ini disimpan di dalam jaringan tumbuhan (kayu) yang kemudian kayu ini berguna bagi manusia. Suatu laporan menyebutkan bahwa sebatang pohon selama hidupnya diprediksi mampu menyerap 7.500 gram karbon. Karena alasan inilah tumbuhan dikenal sebagai pelaku carbon sinks. Sumber lain menyebutkan bahwa secara taksiran kasar, dalam satu hari sebatang pohon menyerap CO2 antara 20 dan 36 gram per hari. Bila di pekarangan rumah anda terdapat 10 buah pohon, maka dalam sebulan pekarangan anda memberikan kontribusi menyerap CO2 sebanyak 5,6 – 10,08 kg atau menyimpan 750 kg karbon selama tanaman itu tumbuh di sana. Kalau di sekitar rumah anda ada 99 KK yang memiliki jumlah pohon sama dengan di rumah anda, maka jumlah CO2 yang diserap menjadi 0,5 – 1,008 ton atau karbon yang disimpan sebanyak 75 ton.
Uraian diatas mungkin baru gambaran dari lingkungan satu RW (rukun warga). Bila dikalkulasikan dalam luasan satu desa/ kelurahan, sekecamatan atau sekabupaten/ kota maka betapa besarnya CO2 yang diserap atau karbon yang disimpan di dalam tumbuhan/ tanaman. Suatu estimasi dilaporkan bahwa 1 acre (0,405 ha) luas pertanaman di Amerika dalam setahun menyerap CO2 yang setara dengan CO2 yang diemisikan oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 26.000 mile (41.842,944 km); dan menurut sumber tersebut 0,405 ha (kurang dari setengah hektar) luas lahan berpepohonan di Brooklyn cukup untuk mengkonpensasi penggunaan bahan bakar oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 7.200 – 8700 mile (11.587,27 – 14.001,29 km)
Nah sekarang, Bagaimana tumbuhan/ pohon bila dikaitkan dengan produksi oksigen ? Hasil estimasi ilmiah menunjukkan bahwa dalam sejam satu lembar daun memperoduksi oksigen sebanyak 5 ml. Dengan mengambil contoh pekarangan rumah anda dan sekitarnya yang ditanami pepohonan tadi dan bila rata-rata jumlah daun per pohon 200 lembar, maka pohon-pohon di tempat tinggal anda dan sekitarnya akan menyumbang oksegen sebanyak 10 x 100 x 200 x 5 ml = 1.000 liter per jam. Angka ini setara dengan jumlah kebutuhan oksigen untuk pernapasan sebanyak 18 orang (kebutuhan oksigen untuk satu orang bernapas adalah 53 liter per jam).
Dengan menyimak uraian diatas, maka tak diragukan lagi bahwa pemanasan global harus dihentikan; dan setiap individu punya andil untuk berpartisipasi. Caranya adalah dengan menanam pohon: di kawasan hutan, di lahan-lahan kritis, di pekarangan rumah, di kantor-kantor, di kampus-kampus, di sekolah-sekolah, di pabrik-pabrik di kota dan di desa. Selain itu, pohon-pohon yang sudah ada harus dijaga kelestariannya.
Sumber Artikel:
http://ekowisata.org/pohon-penyerap-co2-pencemar-penghasil-oksigen-dan-penyimpan-karbon/